Ada yang berbeda pada saat iring-iringan pesta pernikahan di awal dengan di akhir pementasan. Di awal, atmosfer kegembiraan sangat terasa dengan balutan musik yang ceria. Namun keceriaan hilang pada iring-iringan terakhir, kali ini barisan turut disesaki oleh dua tubuh lelaki yang telah terbujur kaku.
Bayusvara.com – Berlokasi di Graha Bhakti Budaya, TIM – Jakarta Pusat, “Pernikahan Darah” sukses dipentaskan selama tiga hari, dari 15 hingga 17 Januari lalu oleh Teater Pandora. Pementasan ini merupakan naskah kedua yang dilakonkan setelah “Perkawinan” yang merupakan pementasan perdananya pada 4 Mei tahun lalu di Auditorium IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya – Universitas Indonesia.
Membuka tahun 2016, Teater Pandora mengangkat tragedi mengenai cinta segita, pengkhianatan dan dendam keluarga melalui lakon yang diadaptasi dari naskah “Bodas de Sangre” karya Federico Garcia Lorca. Naskah asli yang lekat dengan tradisi Spanyol ini disandingkan dengan tradisi Batak dalam Pernikahan Darah. Menurut Yoga Mohamad atau yang kerap disapa ‘Mbe’ selaku sutradara, salah satu yang menjadi alasan utamanya ialah adanya kemiripan antara kedua tradisi tersebut dalam merayakan sebuah hari besar yakni dengan nyanyian dan tarian.
Tidak tanggung-tanggung, Teater Pandora menggaet nama sekaliber Martahan Sitohang sebagai music director dalam pementasan ini. Lulusan Etnomusikologi USU ini merupakan penggiat musik tradisional Batak yang mendedikasikan diri dalam usaha pelestariannya. Selama lebih kurang dua bulan beliau dengan tim nya meracik musik bermodal alat musik tradisional Batak seperti taganing, hasapi dan sarune yang dipadukan dengan gitar akustik untuk mendapatkan nuansa musik ala Spanyol.